Sabtu, 12 Mei 2012


Suatu hari, di bulan Maret 2009

Rina. Gadis itu, dulu sangat lugu dan periang. Senyumnya begitu lepas. Sepertinya, Tuhan ciptakan dia hanya untuk kesenangan dan menyenangkan yang lainnya. Indah nian hidupnya. Ia berhasil melewati setiap detik hidupnya dengan kegembiraan. Ia merespon segala sesuatu dengan cita rasa humor yang tinggi, unik dan tak terduga. Sungguh, dia penghibur yang manis. Entertainer sejati yang tak pernah minta royalti. Semua pun iri padanya. Rasanya dunia kan selalu indah selama masih ada dia. Dia bisa tersenyum dalam tangisnya. Menangis dalam senyuman, ia pun bisa. Selalu saja ia menemukan hal yang membuat segala sesuatu jadi lucu. 

Tapi, itu dulu. Dan tentu kita semua tahu, dulu bukanlah sekarang. Dua kondisi yang berbeda.

Rina. Orang-orang lebih suka memanggilnya Rin-rin. Kedengarannya panggilan itu lebih renyah, serenyah tawa dan senyumnya. Gadis belasan tahun akhir, yang kini beranjak dewasa. Sebagai remaja, ia tak kehilangan sifat kekanak-kanakannya yang manja dan lucu. Namun, ia juga mampu berfikir dewasa. Ia mampu menggunakan akal dan logika diatas segalanya. Perdamaian jadi obsesinya. Dia sangat menghindari konflik. Setinggi apa pun harga perdamaian akan ditebusnya. Oh, sungguh ia layak berjuluk Sang Juru Damai.

Tak perlu memaksanya tuk melakukan sesuatu. Diam-diam dia akan melakukan apa pun yang orang lain mau. Dia tak mengharapkan imbalan untuk itu. Membuat orang lain gembira adalah obsesi keduanya.

Diatas semua kebaikan yang ia miliki, ia sangat perasa. Ia pun sangat mudah tertekan. Ia sangat tidak ingin membuat orang lain susah karenanya. Tentu saja, ia lebih sering mampu mengatasi masalahnya tersebut. Dia berjuang sekuat tenaga untuk tidak menampakkan ekspresi kemarahannya, meski konflik demi konflik berkecamuk dalam batinnya. "Cukup aku sendiri yang tahu masalah ini, aku tak mau orang lain susah karena aku, toh mereka sendiri sudah terlalu banyak masalah. Aku tak mau membebani mereka." Demikian ucapnya dalam hati. Ya, Rin-rin memang berhati baja. Dibalik semua kepribadian yang nampak, sejatinya dia berhati keras.

Dalam lingkungan pergaulannya, Rin-rin memang tak pernah punya teman yang sangat akrab. Dia bergaul, berdamai dan menghibur dengan semua orang yang ditemuinya. Dengan mudah dia dapat mengambil hati orang-orang disekitarnya. Diantara teman-temannya bisa jadi dia tampak sangat cerdas, namun, tak jarang juga ia tampak seperti orang terbodoh yang pernah diciptakan Tuhan ke dunia ini. Namun, Rin-rin tetaplah Rin-rin, ia ceplas-ceplos dan polos. Dalam kondisi terjepit, ia selalu bisa menyelamatkan muka dengan komentar tak terduga. Ia pun tak menyinggung perasaan orang lain.

Seandainya Florence Littauer mengenal Rin-rin sebelum ia menyelesaikan tulisannya dalam buku "Personality Plus", tentulah ia akan menampilkan Rin-rin sebagai representasi dari salah satu watak dalam bukunya tersebut. Ya, Rin-rin adalah representasi sempurna dari watak phlegmatis yang damai.

Rin-rin remaja yang kian beranjak dewasa hidup dalam masa perkembangan teknologi yang pesat yang memaksanya mengikuti arus perkembanagnya. Ia memang bukan gadis remaja yang selalu up date dengan peralatan komunikasi termutakhir yang hadir dilingkungannya, namun ia tetap sedikit mengikuti perkembangannya. Rin-rin mungkin sedikit Gaptek alias Gagap Teknologi namun ia mahir menggunakan Ponselnya.........................

                   (Bersambung..........)